Loading

Sabtu, 10 Januari 2009

RANTING PATAH


Berkali kali kucoba menghubungi HP Febi, keponakanku yang kuliah di Semarang, tapi selalu dijawab si Veronica, sekretaris nasional dari Telkomsel. Akhirnya aku spekulasi untuk langsung saja ke tempat kost-nya, aku masih punya waktu 2 jam sebelum schedule pesawat ke Jakarta, rasanya kurang pantas kalau aku di Semarang tanpa menengok keponakanku yang sejak SMP ikut denganku.
Kuketuk pintu rumah bercat biru, rumah itu kelihatan sunyi seakan tak berpenghuni, memang jam 12 siang begini adalah jam bagi anak kuliah berada
kampus. Lima menit kemudian pintu dibuka, ternyata Desi, teman sekamar Febi, sudah tingkat akhir dan sedang mengambil skripsi.
"Febi ada?" tanyaku begitu pintu terbuka.
"Eh.. Om Hendra.., anu Om.. anu.. Febi-nya sedang ke kampus, emang dia nggak tahu kalo Om mau kesini?" sapanya dengan nada kaget.
Aku dan istriku sudah beberapa kali menengok keponakanku ini sehingga sudah mengenal teman sekamarnya dan sebagian penghuni rumah kost tersebut.
"Om emang ndadak aja, pesawat Om masih 2 jam lagi, jadi kupikir tak ada salahnya kalo mampir sebentar daripada bengong di airport" jawabku sambil mengangsurkan lumpia yang kubeli di pandanaran.
"Aku ingin nemenin Om ngobrol tapi maaf Om aku harus segera bersiap ke kantor, maklum aja namanya juga lagi magang, apalagi sekretaris di kantor sedang cuti jadi aku harus ganti jam 1 nanti" jawabnya lagi tanpa ada usaha untuk mempersilahkan aku masuk.
"Sorry aku nggak mau merepotkanmu, tapi boleh nggak aku pinjam kamar mandi, perut Om sakit nih" pintaku karena tiba tiba terasa mulas. Desi berdiam sejenak.
"Please, sebentar aja" desakku, aku tahu memang nggak enak kalau masuk tempat kost putri apalagi Cuma ada Desi sendirian di rumah itu.
"Oke tapi jangan lama lama ya, nggak enak kalau dilihat orang, apalagi aku sendirian di sini" jawabnya mempersilahkanku masuk.
"Oke, cuman sebentar kok, cuma buang hajat aja" kataku
Aku tahu kamar mandi ada di belakang jadi aku harus melewati kamar Desi yang juga kamar Febi yang letaknya di ujung paling belakang dari 9 kamar yang ada dirumah itu sehingga tidak terlihat dari ruang tamu. Desi tak mengantarku, dia duduk di ruang tamu sambil makan lumpia oleh – olehku tadi, kususuri deretan kamar kamar yang tertutup rapat, rupanya semua sedang ke kampus. Kulihat kamar Febi sedikit terbuka, mungkin karena ada Desi di rumah sehingga tak perlu ditutup, ketika kudekat di depannya kudengar suara agak berisik, mungkin radio pikirku, tapi terdengar agak aneh, semacam suara desahan, mungkin dia sedang memutar film porno dari komputernya, pikirku lagi. Ketika kulewat di depan kamar, suara itu terdengar makin jelas berupa desahan dari seorang laki dan perempuan, dasar anak muda, pikirku.
Tiba tiba pikiran iseng keluar, aku berbalik mendekati kamar itu, ingin melihat selera anak kuliah dalam hal film porno, dari pintu yang sedikit terbuka, kuintip ke dalam untuk mengetahui film apa yang sedang diputar. Pemandangan ada di kamar itu jauh mengagetkan dari apa yang kubayangkan, ternyata bukan adegan film porno tapi kenyataan, kulihat dua sosok tubuh telanjang sedang bergumulan di atas ranjang, aku tak bisa mengenali dengan jelas siapa mereka, karena sudut pandang yang terbatas. Sakit perutku tiba tiba hilang, ketika si wanita berjongkok diantara kaki laki laki dan mengulum kemaluannya dengan gerakan seorang yang sudah mahir, dari pantulan cermin meja rias sungguh mengagetkanku, ternyata wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Febi, keponakanku yang aku sayang dan jaga selama ini, rambutnya dipotong pendek seleher membuatku agak asing pada mulanya. Sementara si laki lakinya aku tak kenal, yang jelas bukan pacarnya yang dikenalkan padaku bulan lalu. Aku tak tahu harus berbuat apa, ingin marah atau malahan ingin kugampar mereka berdua, lututku terasa lemas, shock melihat apa yang terjadi dimukaku. Aku ingin menerobos masuk ke dalam, tapi segera kuurungkan ketika kudengar ucapan Febi pada laki laki itu.
"Ayo Mas Doni, jangan kalah sama Mas Andi apalagi si tua Freddy" katanya lepas tanpa mengetahui keberadaanku.
Aku masih shock mematung ketika Febi menaiki tubuh laki laki yang ternyata namanya Doni, dan masih tidak dapat kupercaya ketika tubuh Febi turun menelan kontol Doni ke memeknya, kembali aku sulit mempercayai pemandangan di depanku ketika Febi mulai mengocok Doni dengan liar seperti orang yang sudah terbiasa melakukannya, desahan nikmat keluar dari mulut Febi dan Doni, tak ada kecanggungan dalam gerakan mereka. Tangan Doni menggerayangi di sekitar dada dan bukit keponakanku, meremas dan memainkannya. Aku masih mematung ketika mereka berganti posisi, tubuh Febi ditindih Doni yang mengocoknya dari atas sambil berciuman, tubuh mereka menyatu saling berpelukan, kaki Febi menjepit pinggang di atasnya, desahan demi desahan saling bersahutan seakan berlomba melepas birahi.
Tiba tiba kudengar suara sandal yang diseret dan langkah mendekat, aku tersadar, dengan agak gugup aku menuju kamar mandi, bukannya menghentikan mereka. Kubasuh mukaku dengan air dingin, menenangkan diri seakan ingin terbangun dan mendapati bahwa itu adalah mimpi, tapi ini bukan mimpi tapi kenyataan. Cukup lama aku di kamar mandi menenangkan diri sambil memikirkan langkah selanjutnya, tapi pikiranku sungguh buntu, tidak seperti biasanya ide selalu lancar mengalir dari kepalaku, kali ini benar benar mampet. Ketika aku kembali melewati kamar itu menuju ruang tamu, kudengar tawa cekikikan dari dalam.
"Nggak apa Mas, ntar kan bisa lagi dengan variasi yang lain" sayup sayup
kudengar suara manja keponakanku dari kamar, tapi tak kuhiraukan, aku sudah tak mampu lagi berpikir jernih dalam hal ini.
"Kok lama Om, mulas ya" Tanya Desi begitu melihatku dengan wajah lusuh, sambil menikmati lumpia entah yang keberapa.
Aku diam saja, duduk di sofa ruang tamu.
"Kamu bohong bilang Febi nggak ada, ternyata dia di kamar dengan pacarnya" kataku pelan datar tanpa ekspresi.
Dia menghentikan kunyahan lumpianya, diam tak menjawab, kupandangi wajahnya yang hitam manis, dia menunduk menghindari pandanganku, diletakkannya lumpia yang belum habis di meja tamu.
"Jadi Om memergoki mereka?" katanya pelan
"Ya, dan Om bahkan melihat apa yang mereka perbuat di kamar itu"
"Lalu Om marahi mereka? kok nggak dengar ada ribut?" Desi mulai penuh selidik.
"Entahlah, Om biarkan saja mereka melakukannya" aku seperti seorang linglung yang dicecar pertanyaan sulit.
"Ha?, Om biarkan mereka menyelesaikannya? Om menontonnya?" cecarnya.
Aku makin diam, seperti seorang terdakwa yang terpojok, Desi pindah duduk di sebelahku.
"Om menikmatinya ya" bisiknya, tatapan matanya tajam menembus batinku.
"Entahlah"
"Tapi Om suka melihatnya kan?" desaknya pelan ditelingaku, kurasakan hembusan napasnya mengenai telingaku. Aku mengangguk pelan tanpa jawab.
"Om"
Aku menoleh, wajah kami berhadapan, hanya beberapa millimeter hidung kami terpisah, kurasakan napasnya menerpa wajahku. Entah siapa yang mulai atau mungkin aku telah terpengaruh kejadian barusan, akhirnya kami berciuman. Kejantananku kembali menegang merasakan sentuhan bibir Desi, kulumat dengan penuh gairah dan dibalasnya tak kalah gairah pula.
Desi meraih tanganku dan meletakkannya di dadanya, kurasakan bukitnya yang lembut tertutup bra, tidak terlalu besar tapi kenyal dan padat. Kubalas meletakkan tangannya di selangkanganku yang sudah mengeras. Desi menghentikan ciumannya ketika tangannya merasakan kekakuan di selangkanganku, sejenak memandangku lalu tersenyum dan kembali kami berciuman di ruang tamu. Tiba tiba aku tersadar, ini ruangan terbuka dan anak lain bisa muncul setiap saat, tentu ini tak baik bagi semua.
"Kita tak bisa melakukan disini" bisikku
"Tapi juga tak mungkin melakukan di kamarku" jawabnya berbisik
"Kita keluar saja kalau kamu nggak keberatan" usulku
"Oke aku panggil taxi dulu" jawab Desi seraya menghubungi taxi via telepon
Sambil menunggu taxi datang kami bersikap sewajarnya, Febi masih juga belum nongol, mungkin dia melanjutkan dengan pacarnya untuk babak berikutnya. Ternyata Desi membohongiku dengan mengatakan ke kantor supaya aku segera pergi, tapi kini dia bersedia menemaniku selama menghabiskan waktu. Dengan beberapa pertimbangan maka kubatalkan penerbanganku dan kutunda besok, aku ingin bersama Desi dulu. Kutawari Desi untuk memilih hotel yang dia mau, ternyata dia mau di hotel berbintang di daerah Simpang Lima. Akhirnya Taxi yang kami tunggu datang juga, Desi kembali ke kamar berganti pakaian dan membawa beberapa barang keperluan menginap, sekaligus pesan sama Febi kalau dia tidak pulang malam ini. Dia makin cantik dan sexy mengenakan kaos ketat dengan celana jeans selutut.
Kami mendapatkan kamar yang menghadap ke arah simpang lima, Desi langsung melepas kaos dan celananya hingga tinggal bikini putih, tampak body-nya yang sexy dan menggairahkan. Kupeluk tubuh sintal Desi, dia membalas memelukku sambil melucuti pakaianku, tinggal celana dalam menutupi tubuhku, kurebahkan tubuhnya di ranjang, kutindih tubuhnya dan kuciumi bibir dan lehernya, aku masih terbayang tubuh mulus Febi yang sedang dicumbui pacarnya, kalau dibandingkan antara Desi dan Febi memang keponakanku lebih unggul baik dari kecantikan maupun body-nya. Tanpa sadar sambil mencium dan mencumbunya aku membayangkan tubuh Febi, hal yang tak pernah terlintas sebelumnya.
Kami sama sama telanjang tak lama kemudian, aku mengagumi keindahan buah dada Desi yang padat menantang dengan puting kemerahan, kujilati dan kukulum sambil mempermainkan dengan gigitan lembut, dia menggeliat dan mendesis. Jilatanku turun menyusuri perut dan berhenti di selangkangannya, rambut tipis menghiasi celah kedua kakinya, meski berumur 23 tahun tapi rambut kemaluannya sangat jarang, bahkan seakan Cuma membayang. Desi berusaha menutup rapat kakinya, dengan kesabaran kubimbing posisi kakinya membuka, seakan aku sedang memberikan pelajaran pada muridku. Aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kali baginya, memeknya yang masih segar kemerahan seolah memceritakan kalau tidak banyak merasakan hubungan sexual, tapi aku tak tahu kebenarannya. Mata Desi melotot ke arahku ketika bibirku menyusuri pahanya dan dia menjerit tertahan ketika kusentuh itilnya dengan lidahku.
"aahh.. sshh.. ennaak Om, terus Om" desahnya meremas rambutku.
Lidahku menari nari di bagian kewanitaannya, desahnya makin menjadi meski masih tertahan malu, kupermainkan jari jemariku di putingnya, dia makin menggeliat dalam nikmat. Desi memberiku isyarat untuk posisi 69, kuturuti kemauannya.
"Tadi Febi dengan posisi ini ketika Om datang" katanya sebelum mulutnya tertutup kontolku.
Dia menyebut Febi membuatku teringat kembali akan keponakanku, masih terbayang bagaimana dia mengulum kontol pacarnya dengan penuh gairah, aku membayangkan seolah sedang bercinta dengan Febi, masih jelas dalam benakku akan kemulusan tubuh telanjang Febi yang selama ini tak pernah aku lihat, masih jelas tergambar betapa montoknya buah dada nan indah lagi padat, mungkin lebih montok dari istriku sendiri. Kurasakan Desi kesulitan mengulum kontolku, aku turun dari tubuhnya, kini kepala Desi berada di selangkanganku, dijilatinya kepala kontolku.
"Punya Om gede banget sih, nggak muat mulutku, lagian aku nggak pernah melakukannya sama pacarku, aku Cuma melihat tadi Febi melakukannya, jadi aku ingin coba" komentarnya lalu kembali berusaha memasukkan kontolku ke mulutnya, kasihan juga aku melihatnya memaksakan diri untuk mengulumku.
Kurebahkan tubuh telanjang Desi lalu kuusapkan kontolku di bibir memeknya, tapi sebelum kontolku menerobos masuk dia mendorongku menjauh.
"Pake kondom dulu ya Om" katanya sambil bangun mengambil kondom dari tas tangannya.
Aku hampir lupa kalau yang kuhadapi ini seorang mahasiswa, bukan wanita panggilan yang tak peduli pada kondom karena mereka sudah pasti mempersiapkan dengan pil anti hamil. Aku jadi teringat Febi, apakah dia juga menggunakan kondom tadi, tak sempat kuperhatikan. Desi memasangkan kondom di kontolku, kondom itu seperti bergerigi dan bentuknya agak aneh.
"Oleh oleh pacarku dari Singapura, ih susah amat mesti punya Om ukurannya XL kali" katanya lalu dia kembali telentang di depanku.
"Pelan pelan aja ya Om, baru kali ini aku lakukan selain sama pacarku, lagian punya Om jauh lebih besar dari punya dia" bisiknya
Kembali kusapukan kontolku ke memeknya yang sudah basah, perlahan memasuki liang kenikmatan Desi, tubuhnya menegang saat kontolku menerobosnya, terasa begitu rapat, sempit dan kencang, kontolku serasa dicengkeram, mungkin karena Desi terlalu tegang atau mungkin memang masih pemula. Desi memejamkan mata lalu melotot ke arahku, seakan tak percaya kalau kontolku sedang mengisi memeknya. Dia menggigit bibir bawahnya, tangannya mencengkeram lenganku, tubuhnya menggeliat ketika kontolku melesak semua ke memeknya. Kudiamkan sejenak sambil menikmati cantiknya wajah Desi dalam kenikmatan, dia menahanku ketika aku mulai mengocoknya.
"Jangan dulu Om, penuh banget, seperti menembus perutku" katanya
"Sakit?" tanyaku
"Ya dan enak, seperti perawan dulu" jawabnya sambil mulai menggoyangkan tubuhnya, aku menganggap pertanda sudah boleh bergerak.
Perlahan aku mulai mengocok memek Desi, pada mulanya tubuhnya kembali menegang, kontolku seperti terjepit di memek, dia mulai menggeliat dan mendesah nikmat ketika beberapa kocokan berlalu, mungkin bentuk kondom sangat berpengaruh juga pada rangsangan di memeknya. Kontolku bergerak keluar masuk dengan kecepatan normal, desahnya makin menjadi sambil meremas kedua buah dadanya. Kaki kanannya kunaikkan di pundakku, kontolku makin dalam melesak. Entah kenapa, tiba tiba bayangan Febi kembali melintas dipikiranku, terbayang Febi sedang telentang menerima kocokan pacarnya, masih terdengar desahan kenikmatan darinya, maka kupejamkan mataku sambil membayangkan bahwa aku sedang mengocok keponakanku itu.
Belum 5 menit aku menikmati memeknya ketika kurasakan remasan kuat dari memeknya disertai jeritan orgasme, fantasiku buyar. Desi terlalu cepat mencapai puncak kenikmatan itu, padahal aku masih jauh dari puncaknya, aku ingin tetap mengocoknya tapi dia sepertinya sudah kelelahan dan minta beristirahat sebentar, kupikir tak ada salahnya untuk beristirahat dulu, toh kita tidak terburu buru, masih ada waktu semalam hingga besok. Akhirnya kuturuti permintaannya, kami telentang berdampingan di atas ranjang, Desi merebahkan kepalanya di dadaku, kurasakan jantungnya yang keras berdetak disertai napas yang berat.
"Punya Om sepertinya masih terasa mengganjal di dalam, abis punya Om gede banget sih" bisiknya.
Aku tersenyum menghadapi kemanjaannya. Kuhubungi Room Service untuk memesan makan siang, baru tersadar ternyata kami belum makan, tak ada salahnya menambah tenaga dan energi. Tak lebih dari 10 menit kemudian kudengar bel berbunyi, cepat amat servisnya, pikirku. Kuambil handuk dan kubelitkan di pinggang, kuminta Desi menutupi tubuhnya dengan selimut. Tanpa pikir panjang kubuka pintu dan.. sungguh sangat mengagetkanku, bukannya Room Service yang nongol ternyata Febi yang berada di depan pintu, aku terkejut tak menyangka kedatangannya karena memang aku tak mengharap kedatangannya kali ini. Kusesali kecerobohanku untuk tidak mengintip terlebih dahulu dari lubang di pintu.
Febi langsung menerobos masuk, seperti biasa seolah tak pernah terjadi sesuatu, dengan manja Febi memelukku seperti layaknya seorang keponakan, kucium pipi kiri kanannya, hal yang biasa kami lakukan, tapi kali ini aku merasakan getaran yang tidak seperti biasanya, aku bisa merasakan tonjolan buah dadanya yang montok mengganjal di dadaku, padahal tak pernah terjadi sebelumnya. Dia langsung nyelonong masuk ke dalam.
"Om lagi mandi ya, malam ini Om harus traktir Febi dan temenin aku.. Mbak Desi!" Belum sempat dia menyelesaikan kata katanya ketika melihat Desi di ranjang, melihat ke arahku lalu kembali lagi ke Desi. Kami tertangkap basah, tak ada lagi alasan untuk mengelak, aku diam seribu basa menunggu reaksi dari Febi. Sebelum aku tahu harus berbuat apa, Desi bangun dari ranjang, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut lalu menggandeng Febi ke kamar mandi, sekilas kulihat mukanya merona merah seperti orang marah. Kukenakan piyama yang ada dilemari menunggu kedua gadis itu, pasrah menerima nasib selanjutnya, meski tidak terlalu khawatir karena aku juga memegang kartunya Febi. Bel pintu kembali berbunyi ketika kedua gadis itu masih di kamar mandi, ternyata Room Service pesanan kami, mereka keluar sesaat setelah Waitress menutup pintu kamar. Bertiga kami makan dalam kebisuan setelah Desi mengenakan piyama yang sama denganku, dia berbagi makanan dengan Febi karena memang pesanan Cuma untuk kami berdua, tak ada kata yang terucap selama makan.
Aku tak berani membuka topik karena belum tahu bagaimana sikap mereka terhadap kejadian ini.
"Om, kita saling jaga rahasia ya, just keep among us, aku nggak keberatan Om sama Mbak Desi asal Om juga tidak cerita sama Mbak Lily tentang kejadian tadi siang" Febi membuka percakapan, aku merasakan lampu kuning mengarah hijau darinya. Febi melanjutkan, "Karena tadi Om melihatku sama Doni, aku juga ingin melihat Om sama Mbak Desi" lanjutnya mengagetkan, aku tak tahu apa maunya anak ini. "Terserah kamu Feb, toh aku juga udah biasa melihat kamu main sama pacar pacarmu" kata Desi lalu duduk dipangkuanku dengan sikap pamer. Sebenarnya agak segan juga kalau harus melakukannya didepan keponakanku sendiri, tapi Sebelum aku protes, Desi sudah mendaratkan bibirnya di bibirku, tangannya menyelip diselangkanganku, meremas kontolku dan mengocoknya. Mau tak mau Kubalas dengan lumatan di bibir dan remasan di buah dadanya, rasa seganku perlahan hilang berganti dengan birahi dan sensasi, Febi seakan tidak melihat kami, menghabiskan sisa makanan yang masih ada di atas meja. Kami saling melepas piyama hingga telanjang di depan Febi. Desi merosot turun diantara kakiku, menjilati dan mengulum kemaluanku. Terkadang kurasakan giginya mengenai batang kontol tegangku, maklum masih pemula.

"Feb, lihat punya Om-mu, besar mana sama punya Doni" Desi memamerkan kontol
tegangku yang ada digenggamannya.
"Wow, gede banget" sahut Febi lalu memandang ke arahku.
"Bisa pingsan kamu kalau segede itu" lanjutnya dengan nada kagum
"Nggak tuh, enak lagi, coba aja sendiri" jawab Desi melanjutkan kulumannya,
kulihat Febi menggeser duduknya melihat kontolku keluar masuk mulut Desi seakan
tak percaya kalau dia bisa melakukannya.
"Akhirnya berhasil juga mendapatkan Om-ku yang selama ini kamu kagumi" seloroh
Febi mengagetkanku, Desi hanya tersenyum.
"Mau coba?" goda Desi sambil menyodorkan kontolku ke Febi, aku diam saja menunggu
reaksi keponakanku, tapi dia diam saja, Desi menjilati kontolku seakan memamerkan
ke Febi mainannya.

Febi menggeser lagi mendekati kami, Desi menuntun tangan Febi dan
menyentuhkannya ke kontolku, ada ke-ragu raguan di wajahnya untuk menyentuh kontol
Om-nya. Wajah putihnya bersemu merah ketika Desi menggenggamkan tangannya ke
kontolku, dia hanya menggenggam tanpa berani menggerakkan tangannya, memandang ke
arahku seolah minta pendapat. Aku diam saja, hanya mengangguk kecil pertanda
setuju. Perlahan keponakanku mulai meremas kontolku, tangannya yang putih mulus
sungguh kontras dengan kontolku yang kecoklatan gelap, makin lama gerakannya
berubah dari meremas lalu mengocok, sementara Desi masih asyik menjilati kepala
kontolku sambil mengelus kantong bola. Gerakan mereka mulai seirama, Febi
mengocok keras ketika kepala kontolku berada di mulut Desi, aku mendesah
kenikmatan dalam permainan kedua gadis ini. Ketika Desi menjilati kantong bola,
Febi kembali memandangku, kubalas dengan senyum dan anggukan, dia menundukkan
kepalanya ke arah kontolku, tapi sebelum sampai ke tujuannya Desi memotong.

"Kami sudah telanjang masak kamu masih pakai pakaian lengkap kayak orang mau
kuliah, cepat copot gih" katanya kembali menjilat dan mengulum.
Febi terlihat ragu ragu untuk melepas pakaiannya dan telanjang di depanku, dia
diam sejenak, aku menghindar ketika dia manatapku, meskipun sebenarnya aku
sangat berharap dia melakukannya.
"Kok jadi bengong gitu, kenapa malu, kan Om-mu sudah melihatmu telanjang tadi
dan lagian waktu kecil kan sering dimandiin, jadi kenapa risih" goda Desi
Akhirnya Febi tunduk pada godaan Desi, dia membalikkan badan membelakangiku
sambil melepas kaos ketatnya, kulihat punggungnya yang mulus dengan hiasan bra
hijau muda, bodynya sungguh menggetarkan tanpa timbunan lemak di perutnya,
ketika jeans-nya dilepas, aku makin kagum dengan ke-sexy-annya, pantatnya padat
membentuk body seperti gitar spanyol nan indah, baru sekarang aku menyadari
betapa keponakanku tumbuh menjadi seorang gadis yang menawan, selama ini
pengamatan seperti ini telah kulewatkan, aku hanya melihatnya sebagai seorang
gadis kecil yang selalu manja, tapi tak pernah melihatnya sebagai seorang gadis
cantik yang penuh gairah.

Darahku berdesir makin kencang saat Febi membalikkan badannya menghadapku, buah
dadanya yang sungguh montok indah nian terbungkus bra satin, kaki bukitnya
menonjol seakan ingin berontak dari kungkungannya, kaki Febi yang putih mulus
berhias celana dalam hijau mini di selangkangannya menutupi bagian indah
kewanitaannya. Febi menyilangkan tangannya di dadanya seakan menutupi tubuhnya
dari sorotan mata nakalku.
"Alaa sok suci kamu, lepas aja BH-mu sekalian" Desi kembali menggoda tapi kali
ini Febi tak menurutinya, dengan masih memakai bikini dia ikutan Desi mengeroyok
selangkanganku, tangannya berebut dengan Desi mengocokku, kutarik tubuh Desi
untuk duduk disampingku, aku ingin melihat saat pertama kali keponakanku
menjilat dan mengulum kontolku tanpa gangguan Desi.

Mula mula agak ragu dia menjilati kepala kontolku tapi akhirnya dengan penuh
gairah lidahnya menyusuri seluruh bagian kejantananku sebelum akhirnya
memasukkan ke mulutnya yang mungil, aku mendesis penuh kenikmatan saat pertama
kali kontolku menerobos bibir dan mulut Febi, sungguh kenikmatan yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya, kenikmatan yang bercampur dengan sensasi yang hebat,
mendapat permainan oral dari keponakanku sendiri. Kontolku makin cepat meluncur
keluar masuk mulut Febi. Diluar dugaanku ternyata Febi sangat mahir bermain oral,
jauh lebih mahir dibandingkan Desi, sepertinya dia lebih berpengalaman dari
sobat sekamarnya. Lidah Febi menari nari di kepala kontolku saat berada di
mulutnya, sungguh ketrampilan yang hanya dimiliki mereka yang sudah terbiasa,
aku harus jujur kalau permainan oral keponakanku menyamai tantenya yaitu istriku.
Begitu penuh gairah Febi memainkan kontolku membuatku terhanyut dalam lautan
kenikmatan, kepalanya bergerak liar turun naik diselangkanganku. Aku mendesah
makin lepas dalam nikmat.

Desi kembali ke selangkanganku, kini kedua gadis bergantian memasukkan kontolku
ke mulutnya diselingi permainan dua lidah yang menyusuri kejantananku secara
bersamaan, aku melayang makin tinggi. Desi memasang kondom, bentuknya unik
berbeda dengan sebelumnya, dikulumnya sebentar kontolku yang terbungkus kondom
lalu dia naik ke pangkuanku, menyapukan ke memeknya dan melesaklah kontolku
menerobos liang kenikmatannya saat dia menurunkan badan.
"Aduuhh.. sshh.. gila Feb, punya Om-mu enak banget, penuh rasanya" komentarnya
setelah kontolku tertanam semua di liang memeknya.
Febi duduk di sebelahku melihat sahabatnya merasakan kenikmatan dari Om-nya, aku
masih ragu untuk mulai menjamah tubuh Febi, selama ini yang kami lakukan hanya
peluk dan cium dari seorang Om kepada keponakannya yang masih kecil, tapi kini
aku harus melihatnya sebagai seorang gadis sexy yang menggairahkan. Belum ada
keberanianku mulai menikmati tubuh sintal keponakanku, hanya memandang dengan
kagum dan penuh hasrat gairah.
"aagghh.. uff.. Feb.. lepas dong bikinimu, kamu harus merasakan nikmatnya Om-mu"
Desi ngoceh disela desahannya.

Sepertinya antara aku dan Febi saling menunggu, sama sama risih dan malu untuk
mulai, ketika desahan Desi makin liar aku tak tahan lagi, kuraih kepala Febi
dalam rangkulanku dan kucium bibirnya. Ada perasaan aneh ketika bibirku
menyentuh bibirnya, perasaan yang tidak pernah kujumpai ketika berciuman dengan
wanita manapun, mungkin hubungan batin sebagai seorang Om masih membatasi kami.
Setelah sesaat berciuman agak canggung, akhirnya kami mulai menyesuaikan diri,
saling melumat dan bermain lidah, jauh lebih bergairah dibanding dengan Desi
atau lainnya, kami seolah sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu.
Kocokan Desi makin liar tapi lumatan bibir lembut Febi tak kalah nikmatnya.

Agak gemetar tanganku ketika mulai mengelus punggung telanjang Febi, dengan
susah payah, meskipun biasanya cukup dengan tiga jari, aku berhasil melepas
kaitan bra yang ada di punggung. Masih tetap berciuman kulepas bra-nya, tanganku
masih gemetar ketika menyusuri bukit di dada Febi, begitu kenyal dan padat
berisi, kuhentikan ciumanku untuk melihat keindahan buah dadanya, jantungku
seakan berdetak 3 kali lebih cepat melihat betapa indah dan menantang kedua
bukitnya yang berhiaskan puting kemerahan di puncaknya, I have no idea berapa
orang yang sudah menikmati keindahan ini.

Desah kenikmatan Desi sudah tak kuperhatikan lagi, kuusap dan kuremas dengan
lembut, kurasakan kenikmatan kelembutan kulit dan kekenyalannya, gemas aku
dibuatnya. Febi menyodorkan buah dadanya ke mukaku, langsung kusambut dengan
jilatan lidah di putingnya dan dilanjutkan dengan sedotan ringan, dia
menggelinjang meremas rambutku. Belum puas aku mengulum puting Febi, Desi sudah
turun dari pangkuanku, lalu kami pindah ke ranjang, Desi nungging mengambil
mengambil posisi doggie, langsung kukocok dia dari belakang sambil memeluk tubuh
sexy Febi. Kukulum puting kemerahannya untuk kesekian kalinya bergantian dari
satu puncak ke puncak lainnya, Febi mendesis nikmat, inilah pertama kali
kudengar desahan nikmat langsung darinya, begitu merangsang dan penuh gairah di
telinga.

Tanpa kusadari, ternyata Febi sudah melepas celana dalamnya, aku kembali
terkesima untuk kesekian kalinya, selangkangannya yang indah berhias bulu
kemaluan yang sangat tipis, bahkan nyaris tak ada, sungguh indah dilihat.
Gerakan pinggul Desi makin tak beraturan, antara maju mundur dan berputar,
kontolku seperti diremas remas di memeknya, sungguh nikmat, kali ini Desi bisa
bertahan lebih lama. Kami berganti posisi, aku telentang diantara kedua gadis
cantik ini dengan kontol yang masih tegak tegang menantang.
"Feb, gantian, kamu harus coba nikmatnya Om-mu" Desi mempersilahkan Febi, tapi
aku menolak dan minta Desi segera naik melanjutkannya.

Terus terang, jauh di lubuk hati ini masih menolak untuk bercinta atau
bersenggama dengan Febi, aku masih harus berpikir panjang untuk bertindak lebih
jauh dari sekedar oral, saat ini belum bisa menerima untuk melanjutkan ke
senggama atau tidak, aku belum tahu. Desi kembali bergoyang pinggul di atasku,
Febi kuberi isyarat untuk naik ke kepalaku, dia langsung mengerti, kakinya
dibuka lebar di depan mukaku, terlihat dengan jelas memeknya yang masih
kemerahan seperti daging segar, kepalaku langsung terbenam di selangkangannya,
lidahku menyusuri bibir dan itilnya sambil meremas pantatnya yang padat,
desahan Febi bersahutan dengan Desi. Seperti halnya Desi, kedua gadis ini
menggoyangkan pinggulnya di atasku, memek Febi menyapu seluruh wajahku. Febi
mendesah keras dan tubuhnya menegang ketika kusedot memeknya, hampir dia
menduduki wajahku. Desi minta bertukar tempat, rupanya dia ingin mendapatkan
kenikmatan seperti yang aku berikan ke keponakanku. Kini memek Desi yang basah
tepat di atas mukaku, sementara Febi melepas kondom yang membalut kontolku,
membersihkan sisa cairan dari memek Desi dengan selimut lalu mulai menjilatinya.

Rasa asin dari memek Desi tak kuperhatikan, cairannya menyapu mukaku, sementara
kemaluanku sudah mengisi rongga mulut Febi dengan cepatnya. Aku begitu asyik
menikmati memek Desi dengan lidahku, tanpa kusadari Febi sudah mengambil posisi
untuk memasukkan kontolku ke memeknya, aku baru tersadar ketika Febi sudah naik
di atas tubuhku dan menyapukan kontolku ke bibir memeknya, aku harus mencegahnya,
pikirku, karena masih belum memutuskan apakah harus melakukannya, hati kecilku
masih belum menerima kalau aku bercinta dengan keponakanku sendiri.
"Febi, jangan", teriakku.
Tapi terlambat, kontolku sudah meluncur masuk ke memek keponakanku tanpa kondom,
sudah terjadi, ada rasa sesal meskipun sedikit sekali. Tapi rasa sesal segera
berubah menjadi heran karena begitu mudahnya kontolku menerobos liang memeknya,
tidak seperti Desi yang cukup sempit dan kesakitan, tapi Febi sepertinya tidak
ada rasa sakit sama sekali ketika memeknya terisi kontolku yang berukuran 17 cm
itu. Bahkan dia langsung mengocok dan menggoyang dengan cepatnya seolah tak ada
halangan dengan ukuran kontolku seperti yang dialami Desi. Goyangan pinggul Febi
lebih nikmat dari Desi tapi sepertinya memek Febi tidak sesempit Desi, tidak
ada kurasakan remasan dan cengkeraman otot dari memeknya, hanya keluar masuk
dan gesekan seperti biasa, dalam hal ini memek Desi lebih nikmat, itulah
perbedaan antara Desi dan Febi, meskipun keduanya sama sama nikmat.

Desi turun dari mukaku, kuraih buah dada montok Febi dan kuremas remas gemas
penuh nafsu, kutarik Febi dalam pelukanku, kukocok dari bawah dengan cepatnya,
desahannya begitu bergairah di telingaku.
"Oh.. yess.. enak banget Om truss.. Febi kaangeen.. Febi cemburuu.. Febi sayang Om.. udah lama Febi menunggu kesempatan ini" desahnya.
Aku kaget ternyata disamping cinta seorang keponakan dia juga menyimpan cinta layaknya seorang gadis pada lawan jenisnya. Kami bergulingan, kini aku di atasnya, kunikmati ekspresi kenikmatan wajah cantik keponakanku yang sedang dilanda birahi tinggi, desahannya makin keras dan liar, rasanya lebih liar dari yang kulihat tadi siang membuatku makin bernafsu mengocok lebih cepat dan lebih keras. Dengan gemas kuciumi pipi Febi, tidak dengan perasaan kasih sayang seperti biasanya tapi penuh dengan perasaan nafsu, kususuri leher jenjangnya yang putih mulus, baru sekarang kusadari betapa menggairahkan tubuh keponakanku ini. Febi menggelinjang dan menjerit ketika lidahku mencapai puncak buah dadanya, kupermainkan putingnya yang kemerahan, dengan kuluman ringan kusedot buah dadanya, itulah yang membuat dia menggelinjang hebat penuh nikmat.
Desi memelukku dari belakang, diciuminya tengkuk dan punggungku, dalam keadaan normal bercinta dengan dua wanita cantik tentulah menyenangkan tapi ini keadaan khusus dimana pertama kali aku mencumbu keponakanku tercinta, aku ingin menikmatinya secara total, keterlibatan Desi sebenarnya kurasakan mengganggu tapi aku tak bisa menyuruhnya pergi, karena dialah aku bisa menikmati tubuh sexy Febi. Tanpa menghiraukan pelukan Desi, kuangkat kedua kaki Febi kepundakku, dengan meremas kedua buah dadanya sebagai pegangan aku mengocoknya keras dan cepat. Febi menjerit keras antara sakit dan nikmat, kepala kontolku serasa menyentuh dinding terdalam dari memeknya, tangannya mencengkeram erat lenganku, matanya melotot ke arahku seakan tak percaya aku melakukan ini padanya, tapi sorot matanya justru menambah tinggi nafsuku, dia kelihatan makin cantik dengan wajah yang bersemu merah terbakar nafsu, lebih menggairahkan dan menggoda, makin dia melotot makin cepat kocokanku, makin keras pula jerit dan desah kenikmatannya. Dan tak lama kemudian dia sampai pada puncak kenikmatan tertinggi.
"Truss.. Om.. Febi mau keluar ya.. truss.. fuck me harder" dia mendesis indah, dan dengan diiringi jeritan kenikmatan panjang dia menggoyang goyangkan kepalanya, cengkeraman di lenganku makin erat, tubuhnya menegang, dia telah mencapai orgasme lebih dulu, kunikmati saat saat orgasme yang dialami Febi.
Inilah pertama kali aku melihat ekspresi orgasme dari keponakanku yang cantik, begitu liar dan menggairahkan, sungguh tak kalah dengan tantenya, istriku. Tubuh Febi perlahan mulai melemah, kuturunkan kakinya dari pundakku lalu kukecup bibir dan keningnya.
"Makasih Om, ini orgasme terindah yang pernah kualami, nanti lagi ya, aku ingin merasakan Om keluar di dalam" katanya mendorong tubuhku turun dari atas tubuhnya. Desi sudah sampingnya bersiap menerimaku, posisi menungging dengan kaki dibuka lebar, kontolku yang masih tegang siap untuk masuk ke memek lainnya. Rupanya Desi tak pernah melupakan pengamannya, dia memberiku kondom sebelum kontolku sempat menyentuh bibir memeknya, sementara Febi tak peduli dengan hal itu, aku tak khawatir karena memang tidak berniat memuntahkan spermaku di memek keponakanku. Febi memasangkan kondom di kontolku dan kembali untuk kesekian kalinya kontolku menguak celah sempit di antara kaki Desi, sungguh sempit, meski udah beberapa kali kumasuki tapi masih tetap saja terasa mencengkeram pada mulanya.
Berbeda dengan punya Febi yang langsung bisa "melahap" semuanya, Desi meringis sebentar saat kontolku kudorong menguak memeknya, cukup lama sebelum akhirnya aku bisa mengocoknya dengan normal, sesekali hentakan keras menghunjam membuatnya teriak entah sakit atau enak. Kupegangi pantatnya yang padat berisi, kocokanku makin cepat, desahan Desi begitu juga makin keras terdengar, kuraih buah dadanya yang menggantung dan kuremas sambil tetap mengocoknya. Terus terang setelah merasakan nikmatnya bercinta dengan keponakanku, terasa Desi begitu hambar, padahal saat pertama tadi dia begitu menggairahkan, kini aku hanya berusaha untuk memuaskan dia sebagai balas jasa dan secepat mungkin mencapai orgasme dengannya supaya berikutnya aku bisa lebih "all out" dengan Febi.
Kocokan kerasku membawa Desi lebih cepat ke puncak kenikmatan, tangan Desi dan Febi saling meremas, teriakan orgasme Desi mengagetkanku, apalagi diiringi dengan denyutan dan remasan kuat dari memeknya, kontolku seperti diremas remas, sungguh nikmat yang tak bisa kudapat dari Febi, akhirnya akupun harus takluk pada kenikmatan cengkeraman memek Desi, menyemprotlah spermaku di dalam memeknya. Kembali dia menjerit merasakan denyut kenikmatan kontolku, kami saling memberi denyutan nikmat, lebih nikmat dari yang kudapat tadi. Tubuhku langsung ambruk di atas punggun Desi, kami bertiga telentang dalam kenangan dan kenikmatan indah. Aku telentang di antara dua gadis cantik yang menggairahkan, Desi melepas kondom, sungguh tak menyangka kalau aku akhirnya bercinta dengan keponakanku sendiri yang sangat sexy dan menggairahkan. Diusianya yang belum 23 tahun dia terlalu pintar bermain sex apalagi permainan oralnya, sungguh sukar dipercaya kalau dia mampu melakukannya dengan sangat baik.
Setelah kudesak akhirnya dia mengakui bahwa dia sudah sering melakukannya sejak setahun yang lalu. Pertama kali yang menikmati keperawanannya adalah P. Freddy, dosennya sendiri, seorang duda berumur hampir 50 tahun, orangnya jauh dari simpatik, justru lebih mendekati sadis, karena wajahnya tipikal orang maluku yang keras. Untuk mendapatkan nilai lulus dari dia akhirnya Febi harus menyerahkan keperawanannya, kalau tidak dia tidak akan bisa melewati tahap persiapan yang berakibat Drop Out. Dengan perasaan jijik Febi menyerahkan kehangatan dan kesuciannya pada si tua bangka, seminggu sekali dia terpaksa
harus melayani nafsu bejat si dosen, setelah berjalan dua bulan dan merasakan
nikmatnya bercinta akhirnya keterpaksaan itu berubah menjadi ketergantungan,
bukan lagi P. Fredy yang memaksa tapi terkadang justru Febi yang minta karena dia tidak mungkin melakukannya dengan orang lain. Hingga akhirnya dia menemukan teman kuliah pujaan hati, tapi begitu sampai ke urusan sex ternyata Febi masih tidak bisa melupakan keperkasaan P. Fredy, jadi dia tetap melakukannya dengan si dosen untuk mendapatkan kepuasan, pacarnya tidak pernah memperlakukan Febi seperti yang dilakukan P. Fredy, perlakuannya begitu sabar dan kebapakan dan dia selalu memenuhi apa yang Febi inginkan, tak pernah memaksa dan selalu sopan di ranjang, begitu romantis hingga Febi makin terhanyut dalam pesona si dosen, dari keterpaksaan menjadi ketergantungan. Semua berakhir setelah P. Fredy mendapat Profesor dan promosi dipindah tugas ke Ujung Pandang. Untuk memenuhi ketergantungannya Febi sering melakukannya dengan pacarnya, tapi sosok permainan sex seperti P. Fredy tak pernah dia dapatkan dari sang pacar. Entah sudah berapa kali dia ganti pacar, tak pernah lebih dari 3 bulan mereka pacaran, selalu diawali dan diakhiri di ranjang.
Cerita Febi sungguh mengagetkanku, rupanya selama ini aku dan istriku terlalu memandang enteng masalah yang dihadapi Febi, tak pernah memberi solusi yang kondusif, kini baru kusadari hal itu. Istriku pernah cerita kalau Febi ingin
mendapatkan suami seperti Om-nya, aku, sabar penuh pengertian dan kebapakan, hal yang tidak pernah dia terima dari ayah kandungnya. Diam diam dia mengagumiku, aku tak menyangka kalau kekagumannya ternyata lebih jauh dari sekedar seorang Om.
"Om Febi cemburu sekali ketika melihat Om sama Mbak Lily bercinta, begitu penuhperasaan dan gairah" katanya sambil kepalanya disandarkan di dadaku.
"Oh ya? kapan dan dimana" tanyaku kaget
"Di rumah, ketika direnovasi, hampir tiap kali aku mendengar desahan dari Mbak Lily aku naik dan mengintip dari celah celah bangunan yang belum selesai itu, setelah itu aku tak bisa tidur sampai pagi, sejak itu aku bertekad untuk bisa merasakan nikmat seperti itu dari Om, bahkan aku ingin lebih dari itu" katanya. Berarti sejak dia kelas 3 SMA dia sudah melihat kami berhubungan.
Mendengar penuturan Febi gairahku kembali naik, kontolku menegang dalam genggaman Febi, Desi tertidur di samping kami, mungkin kelelahan setelah mendapat 2 kali orgasme berurutan dariku.
"Di sofa yuk Om, Febi udah lama nggak bermain di sofa sejak terakhir kali dengan P. Fredy" ajaknya seraya bangun dan menarikku.
Febi langsung duduk di sofa dan membuka kakinya, aku tak mau langsung melakukannya, kucium bibirnya lalu turun ke leher dan berhenti di kedua bukitnya, dengan gemas kuciumi bukit di dadanya, kombinasi jilatan dan kuluman membuat dia mendesah. Sengaja kutinggalkan beberapa bekas kemerahan di buah dadanya supaya dia berhenti melakukan dengan pacarnya untuk beberapa hari. Dia cemberut ketika tahu ada kemerahan di dadanya tapi justru kecemberutannya makin menambah kecantikan wajahnya. Bibirku menyusuri perutnya lalu berhenti di selangkangannya, terasa asin ketika lidahku menyentuh memeknya, mungkin cairan ketika dia orgasme tadi. Tangannya meremas rambutku ketika lidahku menari nari di bibir memeknya, kakinya menjepit kepalaku, aku makin bergairah mempermainkan memeknya dengan
bibirku.
"Udah.. udah.. Om.. sekarang.. Febi udah nggak tahan nih" desahnya menarik rambutku. Aku berdiri, kusodorkan kontolku ke mulutnya, dia menggenggam dan mengocoknya, memandang ke arahku sejenak sebelum menjilati dan memasukkan kontolku ke mulutnya. Tanpa kesulitan, segera kontolku meluncur keluar masuk mulut mungil keponakanku yang cantik, kembali kurasakan begitu pintar dia memainkan lidahnya. Antara jilatan, kuluman dan kocokan membuatku mulai melayang tinggi. Puas dengan permainan oral-nya, aku lalu jongkok di depannya, dia menyapukan kontolku ke
memeknya, dia menatapku dengan pandangan penuh gairah, aku jadi agak malu memandangnya, namun nafsu lebih berkuasa, dengan sekali dorong melesaklah kontolku kembali ke memeknya, dia masih tetap menatapku ketika aku mulai mengocoknya. Kakinya menjepit pinggangku, kutarik dia dalam pelukanku, kudekap erat hingga kami menyatu dalam suatu ikatan kenikmatan birahi, saling cium, saling lumat.
Febi mendesah liar seperti sebelumnya, kurebahkan dia di sofa lalu kutindih, satu kaki menggantung dan kaki satunya dipundakku. Aku tak pernah bosan menikmati ekspresi wajah innocent yang memerah penuh birahi, makin menggemaskan. Buah dadanya bergoyang keras ketika aku mengocoknya, dia memegangi dan meremasnya sendiri. Kuputar tubuhnya untuk posisi doggie, dia tersenyum, tanpa membuang waktu kulesakkan kontolku dari belakang, dia menjerit dan mendorong tubuhku menjauh, kuhentikan gerakanku sejenak lalu mengocoknya perlahan, tak ada penolakan. Kupegang pantatnya yang padat berisi, Febi melawan gerakan kocokanku, kami saling mengocok, dia begitu mahir mempermainkan lawan bercintanya.
Aku bisa melihat kontolku keluar masuk memek keponakanku, kupermainkan jari tanganku di lubang anusnya, dia menggeliat ke-gelian sambil menoleh ke arahku. Kuraih buah dadanya yang menggantung dan bergoyang indah, kuremas dengan gemas dan kupermainkan putingnya. Aku sepertinya benar benar menikmati tubuh indah keponakanku dengan berbagai caraku sendiri, ada rasa dendam tersendiri di hatiku, kalau orang lain telah menikmatinya, aku sebagai orang yang membesarkannya tentu ingin menikmatinya lebih dari lainnya, tak ada yang lebih berhak dari aku. Kuraih tangannya dan kutarik kebelakang, dengan tangannya tertahan tanganku, tubuh Febi menggantung, aku lebih bebas melesakkan kontolku sedalam mungkin. Desah kenikmatan Febi mekin keras memenuhi kamar ini. Kudekap tubuhnya dari belakang, kuremas kembali buah dadanya, kontolku masih menancap di memeknya, kuciumi telinga dan tengkuknya, geliat nikmat Febi makin liar.
"Aduh oom.. enak banget Omm, Febi sukaa, trus Om"
SUMBER RANTING PATAH

0 komentar:

Posting Komentar

BEBAS BERKOMENTAR:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Arsip Blog

sex